Friday, June 11, 2010

Kantin Sekolah

Artikel pendidikan koran Kompas hari ini mengingatkanku pada kenangan dimasa kecil. Kantin sekolah. Aku ingat betul kantin sekolahku, mulai dari SD sampai SMA.

Kantin pertama yang aku kenal tidak begitu besar, ukurannya hanya 4x4 meter. Kantin ini terhubung dengan ruang guru Sekolah Dasar tempatku belajar. Pada salah satu dindingnya dibuat jendela besar, cukup besar untuk 6 sampai 7 anak berdesak-desakan didepannya membeli jajanan. Di bagian dalam kantin, setengah meter jaraknya dari jendela itu diletakkan sebuah meja berukuran besar tempat jajanan dijajakan. Begitu saja. Sangat sederhana.

Namun ada yang berkesan dari kantin pertama yang aku kenal ini.Semua anak mulai dari kelas 4 sampai kelas 6 bergiliran menjaga kantin sekolah. Kami semua merasakan bagaimana melayani pembeli dengan karakter yang berbeda-beda, menghitung uang kembalian dengan benar, sampai membuat laporan sederhana pemasukan kantin pada hari itu. Tentu saja kami tidak di lepas begitu saja, seorang guru piket selalu ada mengawasi dan mengecek ulang hitungan pemasukan uang yang sudah dibuat murid.

Kantin di SMP tempatku belajar ada dua. Satu kantin memanjang dengan ukuran 2x4 meter, yang lain berbentuk kotak sekitar 2x2 meter. Kantin yang memanjang menjajakan makanan aneka rupa, sedangkan kantin kecil menjajakan minuman. Keduanya terletak di samping halaman sekolah.

Kantin SMP-ku di jaga oleh kakak beradik. Mereka memperoleh makanan yang dijajakan dari banyak sumber, misalnya saja dari orang tua murid yang juga membuat penganan kecil. Satu jajanan yang paling kuingat adalah es klamud (es kelapa muda) dengan rasa yang pas-pasan. Hal lain yang kukenang dari kantin SMP-ku adalah letaknya yang strategis, aku dan teman-teman selalu menjadikan kantin sebagai tempat ngeceng. Sambil jajan, mata kami selalu mengawasi manusia-manusia lawan jenis yang enak dipandang atau nyangkut dihati. Selesai waktu istirahat, perut kenyang, hati riang. Indahnya hidup.

Lalu kantin sekolah waktu aku SMA. SMA-ku adalah sekolah homogen. Semua muridnya wanita, jadi kesempatan mengawasi manusia-manusia lawan jenis seperti yang aku rasakan waktu SMP tidak lagi ada. Kantin SMAku paling beragam dibanding dua terdahulu. Terletak di bagian belakang sekolah, ukurannya cukup panjang. Mungkin sekitar 10 meter. Ada beberapa penjual disana, masing-masing dengan dagangan yang berbeda. Ada soto, bihun goreng, jajanan pasar, bakso dan banyak lagi. Penjaja warung banyak yang sudah tua. Beberapa sudah diturunkan pada anaknya.

Yang paling asyik di kantin SMA-ku adalah kebebasannya. Mungkin karena sekolah homogen, kami bisa dengan ‘seenaknya’ duduk di bangku-bangku kantin yang tersedia. Terkadang, setelah pelajaran olah raga kami makan dengan baju seragam dibadan dan baju olahraga tersampir di pundak. Duduk dengan kaki terbentang lebar, atau diletakkan diatas bangku. Meski kami tahu itu tidak sopan, bahkan peringatan dari suster, guru maupun kepala sekolah tak jarang kami dengar mengenai ini, namun kami masih saja melakukannya. Bebas!!

Satu hal yang saat ini aku sadari telah aku pelajari dari kantin-kantin di masa pendidikanku adalah kejujuran. Jujur, sejujur-jujurnya, aku belum pernah dengan sengaja membeli jajanan dan tidak membayar. Kalau hutang pernah, salah bayar mungkin iya. Tapi tidak dengan sengaja tidak membayar. Entah karena sejak SD sudah pernah merasakan menjadi penjual, menghitung uang kembalian dengan benar atau karena melihat ibu, bapak dan mbak warung yang dengan sabar dan bersahaja melayani kami, murid-murid yang banyak maunya maka tidak pernah terlintas keinginan untuk merugikan mereka secara sengaja. Hal ini terbawa sampai sekarang. Tidak untuk menyombongkan diri, tapi kejujuran jadi nilai penting dalam hidupku. Dan itu aku pelajari dari ruangan kecil di salah satu sudut sekolahku bernama kantin.

No comments: