Sunday, April 13, 2008

Dua Rumah Tua

Aku punya dua rumah tua. Semua ada di kawasan Yogya selatan bernama Keparakan Lor. Konon salah satu rumah tua itu dibuat tumbuh, separuh dinding bawahnya dibuat dari semen dan bagian separuh atasnya terbuat dari anyaman bambu (gedhek). Baru ketika Eyang Putri punya cukup uang dari penjualan batik tulis buatannya, bagian dinding yang terbuat dari gedhek itu dibuat permanen semen. Sedangkan rumah tua yang satunya lagi keseluruhan dindingnya terbuat dari gedhek dan jarang digunakan oleh anggota keluargaku. Lebih sering disewakan untuk keluarga. Hanya rumah kecil yang sederhana tapi punya halaman yang cukup luas untuk berkebun dan memelihara beberapa ekor kucing dan anjing.


Rumah itu rumah milik Eyang dari Bapak. Semenjak Bapak menikah dengan Ibu mereka tinggal di rumah tua sampai saat ini. Dari enam ruangan pada awalnya, rumah tuaku sudah mengalami banyak perubahan. mulai dari model jendelanya, warna cat dindingnya, sampai dengan posisi pintu dan penambahan kamar. Seperti kamar tidurku yang sekarang, tadinya adalah kamar makan. Sepulang dari merantau di Jakarta aku tidak lagi punya kamar tidur yang sah. Kakakku sudah menikah dan mempunyai satu anak namun masih tinggal di rumah tua. Alhasil, dengan sedikit khayalan, uang dan kemauan keras aku punya kamar tidur sendiri dengan menambah satu dinding triplek di salah satu sisi ruang makan. Cukup untuk sebuah dipan kecil, dua lemari, dua rak buku dan seperangkat komputer PC.

Semua sudut rumah tuaku punya ceritanya masing-masing. Mulai dari cerita ketika aku masih usia sekolah dasar ngambek dan membawa dua bantal guling dan selimutku kebelakang rumah, dekat tempat cuci piring yang kebetulan beratap setengah terbuka, lalu tidur siang disana. Sampai dengan cerita dimana aku pertama kalinya berani mencium bibir seorang laki-laki yang dulunya pernah sangat aku takuti. Mulai dari sudut dimana aku pernah jongkok kesakitan disamping sepeda federalku pulang sekolah ketika aku mendapatkan haid pertamaku, waktu itu aku masih kelas satu SMP. Sampai sudut dimana aku bermasturbasi dengan angan-angan dan cita-citaku.

Indah.

Namun, aku pernah malu dengan rumah tuaku. Malu ketika bentuknya kuno, malu ketika warnanya kusam, malu ketika kondisinya hancur berantakan, malu ketika hujan dan tidak ubahnya seperti dek kapal ditengah badai. Tidak jarang aku menolak pertemuan di rumah tuaku. Seringkali aku bersungut-sungut ketika mendapati beberapa sudut atap rumah bolong oleh rembesan air hujan. Atau ketika banyak teman datang, aku akan menggelar tikar lebar-lebar hanya diluar rumah dan setengah mati berdoa minta tidak hujan (ketika musim hujan). Ah, dasar rumah tua. Kuno dan kusam.

Itu dulu.

Sekarang, aku bisa merasakan bahwa rumah tuaku adalah sejarahku. Aku menyukainya, aku merasakan nyaman berada didalamnya. Ketika berada dijalan penuh dengan polusi dan umpatan untuk pengendara motor yang memotong jalan, rumah tuaku bisa membuat aku nyaman. Ketika berada diperantauan lalu pulang pada libur Natal, rumah tuaku masih berdiri dengan keklasikannya. Menerima dengan tangan terbuka dan aku kembali menuliskan sejarah baru disana, didalamnya.

3 comments:

fredericka said...

hei blogger, jadi dulu yang kita rujakan di kolam itu krn km malu punya rumah tua?hehehe....

Btw, siapa laki2 yang km perdaya yang kamu cium bibirnya pertama kali? bambang, feri, heru, dian, nanang, tomi, tejo, atau siapa?hehe...becanda (nama2 tersebut adalah fiktif semata sodara2 pembaca)

-onk- said...

sst... simpan kisahku baik-baik,
tersembunyi dalam sudut gelapmu,
di antara laba-laba tua yg menjaga kenangan.
peluk erat mimpi dan anganku,
hingga suatu saat aku datang menukarnya dengan kenyataan.

Anonymous said...

home sweet home ...